Rabu, 14 Agustus 2013

Artikel Usaha Kecil dan Menengah (UKM)

Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan ekonomi nasional, oleh karena selain berperan dalam pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja juga berperan dalam pendistribusian hasil-hasil pembangunan. Dalam krisis ekonomi yang terjadi di negara kita sejak beberapa waktu yang lalu, dimana banyak usaha berskala besar yang mengalami stagnasi bahkan berhenti aktifitasnya, sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) terbukti lebih tangguh dalam menghadapi krisis tersebut.[1] Mengingat pengalaman yang telah dihadapi oleh Indonesia selama krisis, kiranya tidak berlebihan apabila pengembangan sektor swasta difokuskan pada UKM, terlebih lagi unit usaha ini seringkali terabaikan hanya karena hasil produksinya dalam skala kecil dan belum mampu bersaing dengan unit usaha lainnya.
Pengembangan UKM perlu mendapatkan perhatian yang besar baik dari pemerintah maupun masyarakat agar dapat berkembang lebih kompetitif bersama pelaku ekonomi lainnya. Kebijakan pemerintah ke depan perlu diupayakan lebih kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya UKM. Pemerintah perlu meningkatkan perannya dalam memberdayakan UKM disamping mengembangkan kemitraan usaha yang saling menguntungkan antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil, dan meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusianya.[2]
Kondisi UKM di Indonesia Saat Ini
Sektor ekonomi UKM yang memiliki proporsi unit usaha terbesar berdasarkan statistik UKM tahun 2004-2005 adalah sektor (1) Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan; (2) Perdagangan, Hotel dan Restoran; (3) Industri Pengolahan; (4) Pengangkutan dan Komunikasi; serta (5) Jasa ? Jasa.[3] Sedangkan sektor ekonomi yang memiliki proporsi unit usaha terkecil secara berturut-turut adalah sektor (1) Pertambangan dan Penggalian; (2) Bangunan; (3) Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan; serta (4) Listrik, Gas dan Air Bersih.[4] Secara kuantitas, UKM memang unggul, hal ini didasarkan pada fakta bahwa sebagian besar usaha di Indonesia (lebih dari 99 %) berbentuk usaha skala kecil dan menengah (UKM). Namun secara jumlah omset dan aset, apabila keseluruhan omset dan aset UKM di Indonesia digabungkan, belum tentu jumlahnya dapat menyaingi satu perusahaan berskala nasional.[5]
Data-data tersebut menunjukkan bahwa UKM berada di sebagian besar sektor usaha yang ada di Indonesia. Apabila mau dicermati lebih jauh, pengembangan sektor swasta, khususnya UKM, perlu untuk dilakukan mengingat sektor ini memiliki potensi untuk menjaga kestabilan perekonomian, peningkatan tenaga kerja, meningkatkan PDB, mengembangkan dunia usaha, dan penambahan APBN dan APBD melalui perpajakan.[6]
Pengembangan Sektor UKM
Pengembangan terhadap sektor swasta merupakan suatu hal yang tidak diragukan lagi perlu untuk dilakukan. UKM memiliki peran penting dalam pengembangan usaha di Indonesia. UKM juga merupakan cikal bakal dari tumbuhnya usaha besar. “Hampir semua usaha besar berawal dari UKM.[7] Usaha kecil menengah (UKM) harus terus ditingkatkan (up grade) dan aktif agar dapat maju dan bersaing dengan perusahaan besar. Jika tidak, UKM di Indonesia yang merupakan jantung perekonomian Indonesia tidak akan bisa maju dan berkembang.[8]
Satu hal yang perlu diingat dalam pengembangan UKM adalah bahwa langkah ini tidak semata-mata merupakan langkah yang harus diambil oleh Pemerintah dan hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah. Pihak UKM sendiri sebagai pihak yang dikembangkan, dapat mengayunkan langkah bersama-sama dengan Pemerintah. Selain Pemerintah dan UKM, peran dari sektor Perbankan juga sangat penting terkait dengan segala hal mengenai pendanaan, terutama dari sisi pemberian pinjaman atau penetapan kebijakan perbankan. Lebih jauh lagi, terkait dengan ketersediaan dana atau modal, peran dari para investor baik itu dari dalam maupun luar negeri, tidak dapat pula kita kesampingkan.
Pemerintah pada intinya memiliki kewajiban untuk turut memecahkan tiga hal masalah klasik yang kerap kali menerpa UKM, yakni akses pasar, modal, dan teknologi yang selama ini kerap menjadi pembicaraan di seminar atau konferensi.[9] Secara keseluruhan, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pengembangan terhadap unit usaha UKM, antara lain kondisi kerja, promosi usaha baru, akses informasi, akses pembiayaan, akses pasar, peningkatan kualitas produk dan SDM, ketersediaan layanan pengembangan usaha, pengembangan cluster, jaringan bisnis, dan kompetisi.[10]
Perlu disadari, UKM berada dalam suatu lingkungan yang kompleks dan dinamis. Jadi, upaya mengembangkan UKM tidak banyak berarti bila tidak mempertimbangkan pembangunan (khususnya ekonomi) lebih luas.[11] Konsep pembangunan yang dilaksanakan akan membentuk ‘aturan main’ bagi pelaku usaha (termasuk UKM) sehingga upaya pengembangan UKM tidak hanya bisa dilaksanakan secara parsial, melainkan harus terintegrasi dengan pembangunan ekonomi nasional dan dilaksanakan secara berkesinambungan.[12] Kebijakan ekonomi (terutama pengembangan dunia usaha) yang ditempuh selama ini belum menjadikan ikatan kuat bagi terciptanya keterkaitan antara usaha besar dan UKM.[13]
Saat ini, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah berencana untuk menciptakan 20 juta usaha kecil menengah baru tahun 2020.[14] Tahun 2020 adalah masa yang menjanjikan begitu banyak peluang karena di tahun tersebut akan terwujud apa yang dimimpikan para pemimpin ASEAN yang tertuang dalam Bali Concord II. Suatu komunitas ekonomi ASEAN, yang peredaran produk-produk barang dan jasanya tidak lagi dibatasi batas negara, akan terwujud. Kondisi ini membawa sisi positif sekaligus negatif bagi UKM. Menjadi positif apabila produk dan jasa UKM mampu bersaing dengan produk dan jasa dari negara-negara ASEAN lainnya, namun akan menjadi negatif apabila sebaliknya. Untuk itu, kiranya penting bila pemerintah mendesain program yang jelas dan tepat sasaran serta mencanangkan penciptaan 20 juta UKM sebagai program nasional.
Permasalahan yang Dihadapi UKM
Pada umumnya, permasalahan yang dihadapi oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM), antara lain meliputi:[15]
A. Faktor Internal
1. Kurangnya Permodalan dan Terbatasnya Akses Pembiayaan
Permodalan merupakan faktor utama yang diperlukan untuk mengembangkan suatu unit usaha. Kurangnya permodalan UKM, oleh karena pada umumnya usaha kecil dan menengah merupakan usaha perorangan atau perusahaan yang sifatnya tertutup, yang mengandalkan modal dari si pemilik yang jumlahnya sangat terbatas, sedangkan modal pinjaman dari bank atau lembaga keuangan lainnya sulit diperoleh karena persyaratan secara administratif dan teknis yang diminta oleh bank tidak dapat dipenuhi. Persyaratan yang menjadi hambatan terbesar bagi UKM adalah adanya ketentuan mengenai agunan karena tidak semua UKM memiliki harta yang memadai dan cukup untuk dijadikan agunan.
Terkait dengan hal ini, UKM juga menjumpai kesulitan dalam hal akses terhadap sumber pembiayaan. Selama ini yang cukup familiar dengan mereka adalah mekanisme pembiayaan yang disediakan oleh bank dimana disyaratkan adanya agunan. Terhadap akses pembiayaan lainnya seperti investasi, sebagian besar dari mereka belum memiliki akses untuk itu. Dari sisi investasi sendiri, masih terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan apabila memang gerbang investasi hendak dibuka untuk UKM, antara lain kebijakan, jangka waktu, pajak, peraturan, perlakuan, hak atas tanah, infrastruktur, dan iklim usaha.[16]
2. Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)
Sebagian besar usaha kecil tumbuh secara tradisional dan merupakan usaha keluarga yang turun temurun. Keterbatasan kualitas SDM usaha kecil baik dari segi pendidikan formal maupun pengetahuan dan keterampilannya sangat berpengaruh terhadap manajemen pengelolaan usahanya, sehingga usaha tersebut sulit untuk berkembang dengan optimal. Disamping itu dengan keterbatasan kualitas SDM-nya, unit usaha tersebut relatif sulit untuk mengadopsi perkembangan teknologi baru untuk meningkatkan daya saing produk yang dihasilkannya.
1. Lemahnya Jaringan Usaha dan Kemampuan Penetrasi Pasar
Usaha kecil yang pada umumnya merupakan unit usaha keluarga, mempunyai jaringan usaha yang sangat terbatas dan kemampuan penetrasi pasar yang rendah, ditambah lagi produk yang dihasilkan jumlahnya sangat terbatas dan mempunyai kualitas yang kurang kompetitif. Berbeda dengan usaha besar yang telah mempunyai jaringan yang sudah solid serta didukung dengan teknologi yang dapat menjangkau internasional dan promosi yang baik.
2. Mentalitas Pengusaha UKM
Hal penting yang seringkali pula terlupakan dalam setiap pembahasan mengenai UKM, yaitu semangat entrepreneurship para pengusaha UKM itu sendiri.[17] Semangat yang dimaksud disini, antara lain kesediaan terus berinovasi, ulet tanpa menyerah, mau berkorban serta semangat ingin mengambil risiko.[18] Suasana pedesaan yang menjadi latar belakang dari UKM seringkali memiliki andil juga dalam membentuk kinerja. Sebagai contoh, ritme kerja UKM di daerah berjalan dengan santai dan kurang aktif sehingga seringkali menjadi penyebab hilangnya kesempatan-kesempatan yang ada.
3. Kurangnya Transparansi
Kurangnya transparansi antara generasi awal pembangun UKM tersebut terhadap generasi selanjutnya. Banyak informasi dan jaringan yang disembunyikan dan tidak diberitahukan kepada pihak yang selanjutnya menjalankan usaha tersebut sehingga hal ini menimbulkan kesulitan bagi generasi penerus dalam mengembangkan usahanya.
B. Faktor Eksternal
1. Iklim Usaha Belum Sepenuhnya Kondusif
Upaya pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dari tahun ke tahun selalu dimonitor dan dievaluasi perkembangannya dalam hal kontribusinya terhadap penciptaan produk domestik brutto (PDB), penyerapan tenaga kerja, ekspor dan perkembangan pelaku usahanya serta keberadaan investasi usaha kecil dan menengah melalui pembentukan modal tetap brutto (investasi).[19] Keseluruhan indikator ekonomi makro tersebut selalu dijadikan acuan dalam penyusunan kebijakan pemberdayaan UKM serta menjadi indikator keberhasilan pelaksanaan kebijakan yang telah dilaksanakan pada tahun sebelumnya.[20]
Kebijaksanaan Pemerintah untuk menumbuhkembangkan UKM, meskipun dari tahun ke tahun terus disempurnakan, namun dirasakan belum sepenuhnya kondusif. Hal ini terlihat antara lain masih terjadinya persaingan yang kurang sehat antara pengusaha-pengusaha kecil dan menengah dengan pengusaha-pengusaha besar.
Kendala lain yang dihadapi oleh UKM adalah mendapatkan perijinan untuk menjalankan usaha mereka. Keluhan yang seringkali terdengar mengenai banyaknya prosedur yang harus diikuti dengan biaya yang tidak murah, ditambah lagi dengan jangka waktu yang lama. Hal ini sedikit banyak terkait dengan kebijakan perekonomian Pemerintah yang dinilai tidak memihak pihak kecil seperti UKM tetapi lebih mengakomodir kepentingan dari para pengusaha besar.
2. Terbatasnya Sarana dan Prasarana Usaha
Kurangnya informasi yang berhubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, menyebabkan sarana dan prasarana yang mereka miliki juga tidak cepat berkembang dan kurang mendukung kemajuan usahanya sebagaimana yang diharapkan. Selain itu, tak jarang UKM kesulitan dalam memperoleh tempat untuk menjalankan usahanya yang disebabkan karena mahalnya harga sewa atau tempat yang ada kurang strategis.
3. Pungutan Liar
Praktek pungutan tidak resmi atau lebih dikenal dengan pungutan liar menjadi salah satu kendala juga bagi UKM karena menambah pengeluaran yang tidak sedikit. Hal ini tidak hanya terjadi sekali namun dapat berulang kali secara periodik, misalnya setiap minggu atau setiap bulan.
4. Implikasi Otonomi Daerah
Dengan berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004, kewenangan daerah mempunyai otonomi untuk mengatur dan mengurus masyarakat setempat. Perubahan sistem ini akan mempunyai implikasi terhadap pelaku bisnis kecil dan menengah berupa pungutan-pungutan baru yang dikenakan pada UKM. Jika kondisi ini tidak segera dibenahi maka akan menurunkan daya saing UKM. Disamping itu, semangat kedaerahan yang berlebihan, kadang menciptakan kondisi yang kurang menarik bagi pengusaha luar daerah untuk mengembangkan usahanya di daerah tersebut.
5. Implikasi Perdagangan Bebas
Sebagaimana diketahui bahwa AFTA yang mulai berlaku Tahun 2003 dan APEC Tahun 2020 berimplikasi luas terhadap usaha kecil dan menengah untuk bersaing dalam perdagangan bebas. Dalam hal ini, mau tidak mau UKM dituntut untuk melakukan proses produksi dengan produktif dan efisien, serta dapat menghasilkan produk yang sesuai dengan frekuensi pasar global dengan standar kualitas seperti isu kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO 14.000), dan isu Hak Asasi Manusia (HAM) serta isu ketenagakerjaan. Isu ini sering digunakan secara tidak fair oleh negara maju sebagai hambatan (Non Tariff Barrier for Trade). Untuk itu, UKM perlu mempersiapkan diri agar mampu bersaing baik secara keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif.
6. Sifat Produk dengan Ketahanan Pendek
Sebagian besar produk industri kecil memiliki ciri atau karakteristik sebagai produk-produk dan kerajinan-kerajian dengan ketahanan yang pendek. Dengan kata lain, produk-produk yang dihasilkan UKM Indonesia mudah rusak dan tidak tahan lama.
7. Terbatasnya Akses Pasar
Terbatasnya akses pasar akan menyebabkan produk yang dihasilkan tidak dapat dipasarkan secara kompetitif baik di pasar nasional maupun internasional.
8. Terbatasnya Akses Informasi
Selain akses pembiayaan, UKM juga menemui kesulitan dalam hal akses terhadap informasi. Minimnya informasi yang diketahui oleh UKM, sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap kompetisi dari produk ataupun jasa dari unit usaha UKM dengan produk lain dalam hal kualitas. Efek dari hal ini adalah tidak mampunya produk dan jasa sebagai hasil dari UKM untuk menembus pasar ekspor. Namun, di sisi lain, terdapat pula produk atau jasa yang berpotensial untuk bertarung di pasar internasional karena tidak memiliki jalur ataupun akses terhadap pasar tersebut, pada akhirnya hanya beredar di pasar domestik.
Langkah yang Sudah Ditempuh
Sesungguhnya pemerintah telah banyak mengeluarkan kebijakan untuk pemberdayaan UKM, terutama lewat kredit bersubsidi dan bantuan teknis. Kredit program untuk pengembangan UKM bahkan dilakukan sejak 1974. Kredit program pertama UKM, Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), yang menyediakan kredit investasi dan modal kerja permanen, dengan masa pelunasan hingga 10 tahun, dan suku bunga bersubsidi.[21]
Setelah deregulasi perbankan pada 1988, kredit UKM dengan bunga bersubsidi secara berangsur dihentikan, diganti dengan kredit bank komersial. Selain itu, donor internasional juga menyusun kredit program investasi bagi UKM dalam mata uang rupiah. Antara 1990 dan 2000, Bank Indonesia mendanai berbagai kredit program dengan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI), yang dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Pemilikan Rumah Sederhana/Sangat Sederhana (KPRS/SS), dan Kredit Usaha Kecil dan Mikro yang disalurkan melalui koperasi dan bank perkreditan rakyat.[22] Selain itu, NPWP sebagai prasyarat pengajuan kredit di Perbankan juga telah dihapuskan, dimana hal ini memberikan peluang dan kesempatan yang lebih besar bagi kita untuk mengakses modal dari sisi perbankan.[23]
Selain peran dari Pemerintah, dunia akademisi, lembaga swadaya masyarakat, dan lembaga penelitian, juga telah melakukan beberapa kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan UKM. Salah satu diantaranya adalah program GTZ-RED yang diadakan atas dukungan GOPA/Swisscontact yang telah berjalan sejak tahun 2003. Program ini bergerak langsung ke daerah-daerah dengan menggunakan metode enabling environment dengan fokus pada Business Climate Survey (BCS) dan Regulatory Impact Assessment (RIA) yang dilakukan oleh Technical Assisstance (TA). Tim TA ini dimotori oleh Center for Micro and Small Enterprise Dynamics (CEMSED) Universitas Satya Wacana. Tim ini telah melakukan survey, pelatihan, workshop terhadap UKM di daerah-daerah, menciptakan jaringan dengan seluruh pihak terkait UKM termasuk Pemerintah Daerah, serta membuat daftar Peraturan Daerah yang perlu untuk diperbaiki.
Langkah yang Dapat Ditempuh
Dengan mencermati permasalahan yang dihadapi oleh UKM dan langkah-langkah yang selama ini telah ditempuh, maka kedepannya, perlu diupayakan hal-hal sebagai berikut:[24]
1. Penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif
Pemerintah perlu mengupayakan terciptanya iklim yang kondusif antara lain dengan mengusahakan ketenteraman dan keamanan berusaha serta penyederhanaan prosedur perijinan usaha, keringanan pajak dan sebagainya.
2. Bantuan Permodalan
Pemerintah perlu memperluas skema kredit khusus dengan syarat-syarat yang tidak memberatkan bagi UKM, untuk membantu peningkatan permodalannya, baik itu melalui sektor jasa finansial formal, sektor jasa finansial informal, skema penjaminan, leasing dan dana modal ventura. Pembiayaan untuk UKM sebaiknya menggunakan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang ada maupun non bank. Lembaga Keuangan Mikro bank antara Lain: BRI unit Desa dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Sampai saat ini, BRI memiliki sekitar 4.000 unit yang tersebar diseluruh Indonesia. Dari kedua LKM ini sudah tercatat sebanyak 8.500 unit yang melayani UKM. Untuk itu perlu mendorong pengembangan LKM agar dapat berjalan dengan baik, karena selama ini LKM non koperasi memilki kesulitan dalam legitimasi operasionalnya.
3. Perlindungan Usaha
Jenis-jenis usaha tertentu, terutama jenis usaha tradisional yang merupakan usaha golongan ekonomi lemah, harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah, baik itu melalui undang-undang maupun peraturan pemerintah yang bermuara kepada saling menguntungkan (win-win solution).
4. Pengembangan Kemitraan
Perlu dikembangkan kemitraan yang saling membantu antar UKM, atau antara UKM dengan pengusaha besar di dalam negeri maupun di luar negeri, untuk menghindarkan terjadinya monopoli dalam usaha. Selain itu, juga untuk memperluas pangsa pasar dan pengelolaan bisnis yang lebih efisien. Dengan demikian, UKM akan mempunyai kekuatan dalam bersaing dengan pelaku bisnis lainnya, baik dari dalam maupun luar negeri.
5. Pelatihan
Pemerintah perlu meningkatkan pelatihan bagi UKM baik dalam aspek kewiraswastaan, manajemen, administrasi dan pengetahuan serta keterampilannya dalam pengembangan usahanya. Selain itu, juga perlu diberi kesempatan untuk menerapkan hasil pelatihan di lapangan untuk mempraktekkan teori melalui pengembangan kemitraan rintisan.
6. Membentuk Lembaga Khusus
Perlu dibangun suatu lembaga yang khusus bertanggung jawab dalam mengkoordinasikan semua kegiatan yang berkaitan dengan upaya penumbuhkembangan UKM dan juga berfungsi untuk mencari solusi dalam rangka mengatasi permasalahan baik internal maupun eksternal yang dihadapi oleh UKM.
7. Memantapkan Asosiasi
Asosiasi yang telah ada perlu diperkuat, untuk meningkatkan perannya antara lain dalam pengembangan jaringan informasi usaha yang sangat dibutuhkan untuk pengembangan usaha bagi anggotanya.
8. Mengembangkan Promosi
Guna lebih mempercepat proses kemitraan antara UKM dengan usaha besar diperlukan media khusus dalam upaya mempromosikan produk-produk yang dihasilkan. Disamping itu, perlu juga diadakan talk show antara asosiasi dengan mitra usahanya.
9. Mengembangkan Kerjasama yang Setara
Perlu adanya kerjasama atau koordinasi yang serasi antara pemerintah dengan dunia usaha (UKM) untuk menginventarisir berbagai isu-isu mutakhir yang terkait dengan perkembangan usaha.
10. Mengembangkan Sarana dan Prasarana
Perlu adanya pengalokasian tempat usaha bagi UKM di tempat-tempat yang strategis sehingga dapat menambah potensi berkembang bagi UKM tersebut.
Sumber :
http://banking.blog.gunadarma.ac.id
http://bum-ukm.com/ 
By KHUMAELAH | January 12, 2011

Selasa, 25 Juni 2013

Artikel Hak dan Kewajiban Suami Istri


A.    Pendahuluan
Perkawinan adalah perjanjian hidup bersama antara dua jenis kelamin yang berlainan untuk menempuh kehidupan rumah tangga. Dari mulai mengadakan perjanjian melalui akad, kedua pihak telah terikat dan sejak saat itulah mereka mempunyai kewajiban dan hak-hak yang tidak meereka miliki sebelumnya, yaitu sebelum mereka mengikatkan dirinya dengan pasangan hidupnya.
Adapun setelah hal ini terjadi, maka muncullah hak-hak dan kewajiban antar suami istri. Dimana keduanya saling berhubungan dan saling melengkapi antara kewajiban suami dengan hak istri, antara kewajiban istri dengan hak suami. Yang pada akhirnya akan membawa kehidupan suami istri akan seimbang dan menumbuhkan rasa memiliki, menghargai dan memelihara tali kekeluargaan yang sejahtera hingga memperoleh kebahagiaan.
Dalam pembahasan ini, saya akan memaparkan mengenai hak suami istri dan kewajiban suami istri yang keduanya saling ketergantungan dalam kebutuhan rumah tangga.



B.     Teori Kewajiban Suami Istri
1.      Kewajiban Suami Terhadap Hak Istri
a.      Kewajiban yang bersifat materiil
Bisa disebut kewajiban zhahir atau yang merupakan harta benda, termasuk mahar dan nafkah.
1)      Mahar adalah apabila akad perkawinan telah terlaksana, suami diwajibkan memberikan suatu pemberian kepada istrinya. Dasar hukumnya adalah firman Allah QS. An
4. “ Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan[267]. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnyA”.

[267]  pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, Karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas.
Adapun wujud mas kawin itu bukanlah untuk menghargai atau menilai bahkan membayar wanita, melainkan sebagai bukti bahwa calon suami sebenarnya cinta kepada istrinya, sehingga dengan suka rela hati dia mengorbankan hartanya untuk diserahkan kepada istrinya.
Adapun menyebutkan mahar dalam akad perkawinan adalah sunat hukumnya. Karena Nabi sering menyebutkannya waktu melakukan akad perkawinan. Ini dicontohkan dalam suatu hadits Nabi, ketika beliau mengawinkan putrinya yang bernama Fatimah dengan ‘Ali. Hadirs Riwayat Abu Daud dan Nasaai. Mahar yang disebutkan dalam akad disebut mahar musamma, dan mahar yang tidak disebutkan dalam akad disebut mahar mitsli.
Mahar adalah merupakan hak istri, oleh karena itu tidak seorang pun yang boleh menghalang-halangi istri mempergunakan mahar tersebut. Mahar bisa berupa apa saja yang bernilai dan halal lagi bermanfaat. Dari segi bentuk dibagi dua, ada berbentuk barang dan berbentuk jasa.
2)      Nafkah adalah mengeluarkan atau melepaskan, menurut ulama fiqih, nafkah adalah mengeluarkan pengongkosan terhadap orang yang wajib dinelanjainya berupa roti, sambal, tempat tinggal (rumah), dan apa-apa yang bersangkutan dengan itu seperti harga air, minyak, lampu, dan lain-lain. QS. Al-Baqarah(2): 233, dan sabda Nabi Saw. Berdasarkan hadits shahih:
dan bagi mereka (istri-istri) atas kamu tanggungan rezeki (nafkah) mereka dan pakaian merena dengan cara yang ma’ruf”.
                        Waktu wajib nafkah menurut imam malik, bila suami menggauli istrinya. Menurut Abu Hanifah dan Syafi’i, suami belum dewasa, wajib memberi nafkah kepada istri yang sudah dewasa, suami dewasa tidak harus menafkahi istri yang belum dewasa. Syafi’i mempunyai dua pendapat, pendapat pertama sama dengan imam malik, pendapat kedua, istri berhak memperoleh mafkah betapapun juga keadaannya. Beda pendapat ini karena apakah nafkah itu pengganti kelezatan suami atau karena istri tertahan suami, sebagaimana halnya pada suami yang berpergian jauh atau sakit.
                        Besarnya nafkah memang tidak ada batasnya, sedangkan pemberian makanan itu ada batasnya. Besar nafkah tidak ditentukan berdasarkan ketentuan syara’, tetapi berdasarkan keadaan masing-masing suamu istri dan ini akan berbeda berdasarkan perbedaan tempat, waktu dan keadaan. Jumhur fuqoha berpendapat bahwa suami “wajib” memberi pelayan istri, jika istri tersebut termasuk orang yang tidak bisa mandiri. Pendapat lain, bahwa kebutuhan rumah tangga jadi tanggungan istri (setelah memperoleh nafkah).
                        Orang yang menerima nafkah adalah istri yang. Pengertian nafkah sebagai suatu imbangan kenikmatan (yang diperoleh suami), menghendaki tidak adanya nafkah bagi istri yang membangkang. Adapun orang yang wajib membayar nafkah adalah suami yang merdeka dan berada di tempat.
3)      Adapun pembagian waktu, hal ini berlaku apabila suami yang mempunyai istri lebih dari satu. Dimana seorang suami harus bisa perlakukan adil dalam hal waktu terhadap hak istri-istrinya.
b.      Kewajiban yang bersifat immateriil
Bisa disebut kewajiban bathin seorang suami terhadap istri, yaitu:
1)      Memimpin istri dan anak-anaknya. Dalam an-Nisa(4):34
34.  Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka)[290]. wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”.

[289]  Maksudnya: tidak berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.
[290] Maksudnya: Allah Telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik.
[291]  Nusyuz: yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
[292]  Maksudnya: untuk memberi pelajaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. bila cara pertama Telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.
            Tugas pimpinan rumah tangga menyangkut segala aspek kehidupan keluarga. Seperti layaknya pemimpin, laki-laki wajib mengawasi, melindungi, mendidik, serta mengajari hal-hal yang tidak diketahui istri atau anak-anaknya, terutama dalam hal masalah agama.
2)      Bergaul dengan Istrinya dengan cara Baik. Dalam QS. An-Nisa(4):19
19.  Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa[278] dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata[279]. dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.
[278]  ayat Ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan. menurut adat sebahagian Arab Jahiliyah apabila seorang meninggal dunia, Maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. Janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi.
[279]  Maksudnya: berzina atau membangkang perintah.
                        Bergaul disini bisa dikatakan bahwa suami wajib bersenggama dengan istrinya seperti QS. Al-Baqarah(2):223 yang artinya: “Istr-istrimu adalah(seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki....”. kemudian brgaul bisa dikatakan bahwa suami wajib menjaga dan memelihara istrinya. Seperti pada QS. At-Tahriim:6 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka....”.
3)      Suami harus menyimpan rahasia rumah tangga, terutama sekali rahasia kamarnya. Dan suami harus tahu masalah haidh dan nifas istri, karena disaat istri mengalami hal tersebut, maka dibutuhkan pengertiannya dari sang suami.
2.      Kewajiban Istri Terhadap Hak Suami
            Agama islam memberikan peraturan-peraturan tentang kewajiban suami, begitu juga istri harus melaksanakan kewajiban-kewajiban terhadap suaminya, dan ini merupakan hak bagi suami. Kewajiban-kewajiban istri terhadap suami tidak ada yang berupa materi. Diantaranya :
a.       Istri harus patuh kepada suaminya.
Dalam QS. An-Nisa: 34 :  bahwa “Istri-istri yang shaleh ialah yang taat(kepada Allah) lagi memelihara diri (dari berlaku curang) dibalik pembelakangan suaminya. Oleh karena itu Allah telah memeliharanya....”. dan dalam hadits Nabi Muhammad saw. “wanita yang lebih baik adalah yang menggembirakan apanila di pandang, dan patuh bila disuruh, dan tidak menyalahi pada dirinya dan hartanya dengan apa yang dibenci suaminya”.
b.      Harus mematuhi hasrat seksuil suami.
c.       Harus jujur memelihara amanah suami.
d.      Harus memelihara hubungan baik dengan keluarga suami dan karib kerabat suaminya. Ketentuan ini adalah penjabaran dari QS. An-Nisa:36, yaitu “dan berbuat baiklah kepada Ibu, Bapak, dan kepada karib kerabat...”
e.       Harus sopan santun kepada suaminya.
f.       Harus bertanggung jawab mengurus dan mengatur rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
g.      Istri harus gembira.
h.      Istri harus menyusui dan melaksanakan urusan-urusan rumah tangga, bila istri di talak, maka tidak ada kewajiban, kecuali jika anak (bayi) hanya dapat menerima air susunya saja. Dalam hal ini istri juga harus mengurus dan memelihara anaknya.
3.      Hak Dan Kewajiban Menurut Undang- Undang
            Salah satu prinsip yang dianut undang-undang No. 1 tahun 1974 adalah prinsip memperbaiki derajat kaum wanita. Yang mengemukakan pengamatan sejarah kemanusiaan, yaitu pelecehan terhadap harkat kewanitaan. Hal-hal negatif itulah yang hendak dihilangkan melalui undang-undang perkawinan. Pria maupun wanita memiliki hak dan kewajiban yang sama melalui pasal-pasal dalam undang-undang ini.
a.       Kemungkinan dibuatnya perjanjian perkawinan dengan isi yang dikompomikan berdua secara musyawarah, seperti dijelaskan dalam BAB V, perjanjian perkawinan pasal 1, 2, 3. Selama perkawinan itu berlangsung, perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
b.      Kesamaan hak dan kewajiban, yaitu bahwa pria maupun wanita sama mempunyai hak dan kewajiban yang implememntasinya sesuai kodrat masing-masing. Ini dijabarkan melalui pasal-pasal di dalam perundang-undangan BAB V, Hak dan Kewajiban Suami Istri pada pasal 30 sampai pasal 34 dan pasal 41 huruf b dan c.
c.       Dalam KHI, masalah hak dan kewajiban suami istri, dijelaskan dalam bab XII tentang hak dan kewajiban suami istri, terdiri dari pasal 77 dan 78 (secara umum). Kedudukan suami istri pasal 79 dengan 3 ayat. Kewajiban suami pasal 80 dengan 7 ayat. Tenatang kediaman, pasal 81 dengan 4 ayat. Kewajiban suami yang beristri lebih dari seorang, pasal 82 dengan 2 ayat. Kewajiban istri pada pasal 83 dengan 2 ayat dan 84 dengan 4 ayat.
d.      Adapun tentang harta kekayaan, bila terjadi perceraian diatur dalam bab XII tentang harta kekayaan dalam perkawinan, terdiri dari 13 ayat, dari pasal 85 sampai pasal 97.
            Dalam pasal 33 UU Perkawinan menegaskan,.”suami Istri wajib saling mencintai, menghormati, setia dan member bantuan lahir batinyang satu pada yang lain”.[1]
C.        Hubungan Dengan Mata Kuliah Analisa Kebijakan
            Hak dan kewajiban suami istri merupakan aturan yang telah dibuat dan ada baik itu dari pemerintah maupun dari agama islam. Kalau di agama islam sudah jelas bahwa istri merupakan pengurus rumah tangga baik itu suami maupun anak – anak nantinya.
            Namun dibandingkan dengan hukum dan kebijakan dari Negara dan undang undang, tidak ada mengkhususkan hal tersebut, oleh karna itu Saya tertaring menghubungkan Hak dan Kewajiban Suami Istri dengan mata kuliah analisa kebijakan.
            Kita lihat bersama bahwa di Negara Indonesia sekarang ini banyak wanita – wanita yang di istilahkan dengan wanita karir, ketika kita mendengar tentang istilah tersebut tentu kita akan mengatakan bahwa wanita karir adalah wanita yang bekerja.
            Sebenarnya tidak ada masalah dari profesi tersebut, namun dalam kenyataanya dan hampir sebagian besar wanita karir merupakan wanita yang sudah berstartus istri artinya kebanyakan dari mereka seringkali meninggalkan kewajiban mereka sebagai seorang istri.
            Yang hebatnya lagi adalah dengan adanya penyetaraan hak dan kewajiban laki – laki dan perempuan di Negara Indonesia, maka hak dan kewajiban istri yang sebenarnya atau yang kodratnya sering kali tersamarkan dengan profesi yang mereka jabat.
            Ketipangan seperti ini mengakibatkan sering kali hak istri lebih dominan ketimbang hak suami, sampai – sampai ada juga yang terbailik antara hak dan kewajiban suami dan istri.
            Yang seharusnya suami dan istri menjalankan kewajibannya masing – masing yang telah diatur oleh agama dan hukum Negara, apabila keduanya melalaikan kewajiban, maka masing – masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.[2]
            Aturan dan kebijakan ini, seharusnya dapat dikoreksi kembali mengingat hai ini merupakan sesuatu yang berdampak cukup besar bagi umat islam khususnya dan rakyat pada umumya.
D.        Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kewajiban seorang suami terhadap istri berbanding lurus dengan hak istri. Dan kewajiban istri juga menghasilkan hak yang diperoleh suami. Bila dilihat, kewajiban istri terhadap suami lebih banyak dibandingkan dengan hak istri terhadap suami. Namun, hal itu tidak menjadikan suami terus meminta haknya terhadap istri, malah justru suami harus bisa menghargai istri.
Istri yang menjaga suami, suami pun juga harus menjaga istri, selaku pemimpin keluarga. Dimana keluarga adalah inti terkecil dari interaksi sosial, dan merupakan organisasi pertama serta mendasar dalam membangun bangsa yang sejahtera, aman serta tentram.
Selain itu, untuk menjadi wanita yang baik terhadap suaminya sangat tidak mudah, dan suami pun harus bisa mengurus istrinya berperilaku shalehah. Oleh karenanya, suami harus membimbing istrinya terutama dalam hal agama. Karena sebaik-baiknya istri, adalah istri yang shalehah.


DAFTAR PUSTAKA
Al - Qur’anul Kariim
Drs. Ahmad Rofiq, MA. Hukum Islam di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta
Undang-undang No 1 tahun 1974

[1] Drs. Ahmad Rofiq, MA. Hukum Islam di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hal 184
[2] Drs. Ahmad Rofiq, MA. Hukum Islam di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hal 184